Tuesday 12 December 2017

Hukum forex menurut islam salaf


Napisane przez jaenal nurohman na Minggu, 10 czerwca 2017 19.27 Inwestycje FOREX trading merupakan inwestasi yang sangat menjanjikan dimana kita bisa memperoleh profit yang cukup lumayan dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi z kehadiran Broker forex online yaitu Instaforex yang członek sieci jasa forex sygnał di internet, semakin memudahkan setiap orang do mendulang zysk di bisnis ini bahkan tanpa harus melewati upaya belajar yang terlalu lama dan tanpa harus memahami analisa teknikalmaupun basic yang memusingkan kepala. Penghasilan para trader-trader forex profesional sangat dan jauh meninggalkan para pelaku-pelaku bisnis lainnya seperti para pelaku bisnis MLM dan perdagangan konvensional. Tapi kemudyjski banyak yang mempertanyakan kehalalan dari hasil yang diperoleh bisnis forex handel ini dikarenakan sifatnya yang abstrakcyjne i tidak kasat mata. Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, 8221 sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit for memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang den perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal z pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur8217an, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. 8220Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, 8221 ujar Dr. Syamsul Anwar. MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi 8211 karena sät i dan lain hal 8212 tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga den jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan 8212 satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa8217il almu8217ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa8217I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Z powodu demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a8217yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Koran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Zablokowany kod, PBK określający kajian hukum Islam określający bagaimę hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan denangat dan bunyi UU nr 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay8217 al-salam8217ajl bi8217ajil. Bay8217 al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay8217 ajl bi8217ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang z ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra8217s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi8217iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: 8220Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) z powodu jual yd ditetapkan di dalam bursa akad8221. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun i syarat sebagai berikut. Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay8217 al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (8216aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih. Objek transaksi (ma8217qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra8217s al-mal al-salam dan al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat 8216aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi8217iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa 8216aqd al-salam adalah bay8217 al-ma8217dum z sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (kup). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (yakun fi jinsin ma8217lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang Yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, staw, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualaitari istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan den z maksud menghilangkan jahalah fi-8217aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya tel. Dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan z peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai z semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay8217 al-salam. Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sam lainnya sesuai denaw penanaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata ung antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat international dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara z negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untu memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan z lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh denban. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220 Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal i Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan z syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudyjski jika barang sesuai z keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil ma bardzo duży rozmiar, seperti ketela, kentang, bawang i dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugia jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam dla dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.Majlis Fatwa Kebangsaan: Hukum Pelaburan Forex Suzardi Maulan 16 lutego 2017 Pelaburan forex yang dibuat platforma online platforma internetowa adalah haram. Keputusan ini telah pun dibuat oleh muzakarah Majlis Fatwa Kebangsaan. Ini kerana muzakarah mendapati bahawa perdagangan pertukaran mata wanga (forex) oleh individualu secara lani (indywidualny spot forex) melalui platfom elektronik mengandungi unsur-unsur seperti riba melalui pengenaan rollover interest, pensyaratan jual beli dalam pemberian hutang melalui wpływ, qabd yang tidak jelas ketika transaksi pertukaran, penjualan mata wang yang tiada dalam pegangan i spekulasi yang melibatkan perjudian. Tuan dapat membaca kenyataan lanjut seperti berikut: Muzakarah Jawatłokasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malezja Kali Ke-98 yang bersidang pada 13-15 lutego 2017 telah membincangkan Hukum Perdagangan Pertukaran Matawang Asing oleh Individu Secara Lani (Individual Spot Forex) Melalui Platfom Elektronik . Muzakarah telah membuat keputusan seperti berikut: Setelah mendengar taklimat dan penjelasan pakar daripada Akademi Penyelidikan Syariah Antarabangsa Dalam Kewangan Islam (ISRA) serta meneliti keterangan, hujah-hujah dan pandangan yang dikemukakan, Muzakarah menegaskan bahawa perdagangan pertukaran mata wang asing (forex) oleh individu secara lani (indywidualny spot forex) melalui platfom elektronik adalah melibatkan pozycja ribawi (iatu mata wang) dan dari sudut fiqhiyyah ia tertakluk di bawah hukum Zatoka al-Sarf yang perlu dipatuhi syarat-syarat umum jual beli dan syarat-syarat khusus bagi Zatoka al-Sarf seperti berikut: Syarat-syarat umum jual beli: Pihak yang berakad mestilah mempunyai kelayakan melakukan kontrak (Ahliyyah al-Taaqud) Harga belian hendaklah diketahui z jela oleh kedua-dua pihak yang berakad Przedmiot belian hendaklah suatu yang wujud dan dimiliki sepenuhnya oleh pihak yang menjual serta boleh diserahkan kepada pembeli Sighah akad hendaklah menunjukkan keredhaan kedua-dua p ihak, tidak ada unsur penempohan dan sighah ijab dan qabul mestilah bersepadanan i menepati antara satu sam lain dari sudut ciri-ciri dan kadarnya. Syarat-syarat khusus Bay al-Sarf: Berlaku taqabbudh (penyerahan) antara kedua-dua item yang terlibat dalam platforma forex sebelum kedua-dua pihak yang menjalankan transaksi berpisah daripada majlis akad Jual beli matawang hendaklah dijalankan secara lani dan tidak boleh berlaku sebarang penangguhan dan Akad jual beli al-sarf mesti bebas daripada khiyar al-Syart. Selain memenuhi syarat-syarat tersebut, Muzakarah juga menegaskan bahawa operasi perdagangan pertukaran mata wang asing (forex) hendaklah bebas daripada sebarang unsur riba, elemen al-Salaf wa al-Bay (pemberian hutang dengan syarat dilakukan transaksi jual beli), unsur perjudian, gharar yang berlebihan dan kezaliman atau eksploitasi. Berdasarkan kajian terperinci yang telah dilakukan, Muzakarah mendapati bahawa perdagangan pertukaran mata wang asing (forex) oleh individu secara lani (indywidualny spot forex) melalui platfom elektronik mengandungi unsur-unsur seperti riba melalui pengenaan rollover interest, pensyaratan jual beli dalam pemberian hutang melalui dźwignia, qabd yang tidak jelas ketika transaksi pertukaran, penjualan mata wang yang tiada dalam pegangan dan spekulasi yang melibatkan perjudian. Selain itu ianya juga tidak sah dari sisi undang-undang Kerajaan Malaysia. Sehubungan itu, Muzakarah bersetuju memutuskan bahawa perdagangan pertukaran mata wang asing (forex) oleh individu secara lani (indywidualny spot forex) melalui platfom elektronik yang ada pada masa ini adamah haram kerana ia bercanggah den kehendak syarak dan juga tidak sah dari sisi undang-undang negara . Selaras den go it, umat Islam adalah dilarang daripada melibatkan diri dalam perdagangan mata wang seumpama ini. Muzakarah juga menegaskan bahawa keputusan yang diputuskan ini tidak terpakai ke atas urus niaga pertukaran mata wanga asing menerusi kaunter di pengurup wang berlesen dan urus niaga pertukaran mata wang asing yang dikendalikan oleh instytuty-institusi kewangan yang dilesenkan di bawah undang-undang Malezja. Laporan akhbar mengenai Keputusan Majlis Fatwa Kebangsaan: KOTA BHARU: Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan semalam memutuskan umat Islam musi być w porządku. Pengerusi Jawatankuasanya, Tan Śri dr Abdul Shukor Husin, berkata ini kerana perniagaan yang dilakukan melalui pertukaran wang asing seperti itu tidak menepati hukum syarak dan menimbulkan keraguan di kalangan umat Islam. Hasil kajian jawatkazasa ini, kita dapati perniagaan pertukaran wanga asing membabitkan spekulasi mata wang dan ini bercanggah dan berlawanan dengan hukum Islam. Oleh itu, Jawatkazasa Fatwa Kebangsaan memutuskan bahawa umat Islam diharamkan daripada mengamalkan sistem perniagaan cara demikian, katanya kepada pemberita selepas mempengerusikan mesyuarat Jawat bukietasa Fatwa Kebangsaan Ke-98 di sini. Abdul Shukor, który ma wiele funkcji, jest w stanie obsłużyć, a nawet nie ma dostępu do Internetu, nie ma dostępu do Internetu, nie ma dostępu do Internetu, nie ma dostępu do Internetu, nie ma dostępu do Internetu, nie ma dostępu do Internetu. Lain-lain jenis perniagaan pertukaran wang asing, seperti melalui pengurup wang atau dari bank ke bank dibenarkan, kerana ia tidak menimbulkan spekulasi mata wang atau untung rugi yang tidak menentu, katanya. Beliau berkata, keputusan lain yang turut dicapai dalam mesyuarat itu ialah mengharuskan umat Islam membuat pelaburan atau membuat simpanan melalui Skim Sijil Simpanan Premium (SSPM) yang dikendalikan Bank Simpanan Nasional (BSN). Katanya keputusan itu dibuat selepas jawatkazasa berkenaan berpuas hati z kaedah pelaksanaannya melalui taklimat yang disampaikan oleh pihak panel syariah Bank Negara pada muzakarah itu. BERNAMAForex menurut Hukum Islam Banyak perbedaan pendapat tentang na żywo, ada yang mengatakan tidak boleh, tetapi ada juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa sumber tentang forex itu sendiri (sedang dla yang tidak membolehkan forex itu sendiri, silahkan search Google). Fit4global. wordpress hanya memberi wacana, dan hanya fokus ke riset ilmiah tentang pergerakan forex. Fit4global. wordpress memang didedikasikan do meriset secara logika i ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun podstawowe. Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Apa pendapat para ulama mengenai trading forex, handel saham, indeks handlowy, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Mari kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit for memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang den perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal z pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Koran, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar Dr Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi karena sät i dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga den jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasail almuashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Z powodu demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Koran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Zablokowany kod, PBK określający kajian hukum Islam określający bagaimę hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan denangat dan bunyi UU nr 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan den bay all-salamajl dwujil. Zatoka al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay ajl dwujil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang z ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ras al-mal dalam bentuk ung sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) z powodu jual yual ditetapkan di dalam bursa akad. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun i syarat sebagai berikut: a) Rukun sebagai unsur-unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih. Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ras al-mal al-salam dan al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa aqd al-salam adalah zatoki al-madum z sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (kup). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (yakun fi jinsin malumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang Yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, staw, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualaitari istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan denim maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya tel. Dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan z peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikan, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai z semangat dan jiwa norma hukum Islam, z menganalogikan kepada bay al-salam. 1. Podstawowe umowy giełdowe Wśród islamskich prawników panuje ogólna zgoda co do tego, że waluty różnych krajów mogą być wymieniane na miejscu w tempie innym niż jedność, ponieważ waluty różnych krajów są odrębnymi podmiotami o różnych wartościach lub wartości własnej i siłę nabywczą. Wydaje się również, że większość naukowców zgadza się co do tego, że wymiana walut w przyszłości nie jest dopuszczalna, to znaczy, gdy prawa i obowiązki obu stron dotyczą przyszłości. Jednakże wśród prawników istnieje znaczna różnica zdań, gdy prawa jednej ze stron, które są takie same jak zobowiązania kontrahenta, zostają przesunięte na przyszłą datę. Aby rozwinąć, weźmy pod uwagę przykład dwóch osób A i B, które należą do dwóch różnych krajów, odpowiednio Indii i USA. Zamierza sprzedać indyjskie rupie i kupić dolary amerykańskie. Odwrotność jest prawidłowa dla B. Ustalony kurs wymiany rupia-dolar wynosi 1:20, a transakcja obejmuje kupno i sprzedaż 50. Pierwsza sytuacja polega na tym, że A dokonuje wypłaty punktowej Rs1000 na B i akceptuje wypłatę 50 od B Transakcja jest rozliczana na miejscu z obu stron. Takie transakcje są ważne i dopuszczalne z islamu. Nie ma dwóch opinii na ten temat. Druga możliwość jest taka, że ​​rozliczenie transakcji z obu stron zostaje przesunięte na przyszłą datę, powiedzmy po upływie sześciu miesięcy. Oznacza to, że zarówno A, jak i B przyjęliby i zaakceptowaliby zapłatę Rs1000 lub 50, w zależności od sytuacji, po sześciu miesiącach. Przeważa pogląd, że taka umowa nie jest islamycznie dopuszczalna. Widok mniejszości uważa to za dopuszczalne. Trzeci scenariusz zakłada, że ​​transakcja jest częściowo rozliczana tylko z jednego końca. Na przykład A dokonuje płatności Rs1000 teraz na B zamiast obietnicy B, aby zapłacić mu 50 po sześciu miesiącach. Alternatywnie, A akceptuje 50 teraz od B i obiecuje zapłacić Rs1000 do niego po sześciu miesiącach. Istnieją diametralnie różne poglądy na temat dopuszczalności takich umów, które stanowią bai-salam w walutach. Celem tego artykułu jest przedstawienie kompleksowej analizy różnych argumentów na poparcie i przeciw dopuszczalności tych podstawowych umów z udziałem walut. Pierwsza forma kontraktowania polegająca na wymianie kontrargumentów na miejscu jest ponad wszelką kontrowersją. Dopuszczalność lub brak drugiego rodzaju umowy, w której dostarczenie jednej z wartości zastępczych jest odroczone na przyszłą datę, jest ogólnie omawiana w ramach zakazu riba. W związku z tym omawiamy tę umowę szczegółowo w sekcji 2 poświęconej kwestii zakazu riba. Dopuszczalność trzeciej formy umowy, od której odroczona jest dostawa obu kontr wartości, jest ogólnie dyskutowana w ramach zmniejszania ryzyka i niepewności lub gharar związanych z takimi umowami. Jest to zatem główny temat sekcji 3, która zajmuje się kwestią gharar. Rozdział 4 próbuje całościowego spojrzenia na kwestie związane z szariatem, a także na ekonomiczne znaczenie podstawowych form kontraktowania na rynku walutowym. 2. Kwestia zakazu Riba Rozbieżność poglądów1 na temat dopuszczalności lub braku kontraktów walutowych w walutach można prześledzić przede wszystkim w kwestii zakazu riba. Konieczność wyeliminowania riba we wszystkich formach umów wymiany ma ogromne znaczenie. Riba w kontekście szariatu jest ogólnie zdefiniowana2 jako niezgodna z prawem korzyść wynikająca z ilościowej nierówności kontrargumentów w każdej transakcji mającej na celu wymuszenie wymiany dwóch lub więcej gatunków (anwa), które należą do tego samego rodzaju (jins) i są regulowane przez ta sama skuteczna przyczyna (illa). Riba jest ogólnie klasyfikowana jako riba al-fadl (nadmiar) i riba al-nasia (odroczenie), które oznaczają bezprawną przewagę odpowiednio poprzez nadmiar lub odroczenie. Zakaz tego pierwszego osiąga się przez zastrzeżenie, że kurs wymiany między przedmiotami jest jednością i żadna korzyść nie jest dozwolona dla żadnej ze stron. Ten drugi rodzaj ryb jest zabroniony poprzez niedopuszczenie do odroczonego rozliczenia i zapewnienie, że transakcja zostanie rozliczona na miejscu przez obie strony. Inna forma riba zwana jest riba al-jahiliyya lub przedislamską riba, która pojawia się, kiedy pożyczkodawca prosi kredytobiorcę o termin zapadalności, jeśli ten ostatni ureguluje dług lub zwiększy to samo. Zwiększeniu towarzyszy naliczanie odsetek od kwoty początkowo pożyczonej. Zakaz riba w wymianie walut należących do różnych krajów wymaga procesu analogii (qiyas). W każdym takim ćwiczeniu z udziałem analogii (qiyas), niezwykle ważna jest rola sprawnej przyczyny (illa). Jest to często sprawna przyczyna (illa), która łączy przedmiot analogii z przedmiotem, w ćwiczeniu analogicznego rozumowania. Odpowiednia efektywna przyczyna (illa) w przypadku umów wymiany została różnie określona przez główne szkoły Fiqh. Różnica ta znajduje odzwierciedlenie w analogicznym uzasadnieniu dla walut papierowych należących do różnych krajów. Kwestia o znaczącym znaczeniu w procesie analogicznego rozumowania dotyczy porównania między papierowymi walutami ze złotem i srebrem. W początkach islamu złoto i srebro spełniały wszystkie funkcje pieniędzy (thaman). Waluty zostały wykonane ze złota i srebra o znanej wartości wewnętrznej (zawartej w nich kwocie złota lub srebra). Takie waluty są opisane jako thaman haqiqi, lub naqdain w literaturze Fiqh. Były one powszechnie akceptowane jako główne środki wymiany, stanowiące dużą część transakcji. Wiele innych towarów, takich jak różne gorsze metale, służyło również jako środek wymiany, ale z ograniczoną akceptowalnością. Są one opisane jako falsy w literaturze Fiqh. Są one również znane jako thaman istalahi ze względu na fakt, że ich akceptacja nie wynika z ich wewnętrznej wartości, ale ze względu na status przyznany przez społeczeństwo w danym okresie czasu. Powyższe dwie formy walut zostały potraktowane bardzo różnie przez wczesnych islamskich prawników z punktu widzenia dopuszczalności umów z nimi związanych. Kwestią, która musi zostać rozwiązana, jest to, czy obecne waluty papierowe należą do poprzedniej lub drugiej kategorii. Jeden pogląd jest taki, że powinny one być traktowane na równi z thaman haqiqi lub złotem i srebrem, ponieważ służą one jako główny środek wymiany i jednostka rozliczeniowa jak ta druga. W związku z tym, zgodnie z analogicznym rozumowaniem, wszystkie odnoszące się do szariatu normy i nakazy mające zastosowanie do taman haqiqi powinny również mieć zastosowanie do waluty papierowej. Wymiana thaman haqiqi jest znana jako bai-sarf, a zatem transakcje w papierowych walutach powinny podlegać zasadom szariackim odnoszącym się do bai-sarf. Przeciwny pogląd twierdzi, że waluty papierowe powinny być traktowane w sposób podobny do fals lub thaman istalahi, ponieważ ich wartość nominalna różni się od ich wartości wewnętrznej. Ich akceptowalność wynika z ich statusu prawnego w kraju krajowym lub globalnego znaczenia gospodarczego (na przykład w przypadku dolarów amerykańskich). 2.1. Synteza alternatywnych widoków 2.1.1. Analogiczne rozumowanie (Qiyas) dla zakazu Riba Zakaz riba opiera się na tradycji, którą powiedział święty prorok (niech spoczywa w pokoju), Sprzedaj złoto za złoto, srebro za srebro, pszenicę na pszenicę, jęczmień na jęczmień, datę na randkę, sól na sól, w takich samych ilościach na miejscu i gdy towary są różne, sprzedawaj, jak ci odpowiada, ale na miejscu. Tak więc zakaz riba dotyczy przede wszystkim dwóch metali szlachetnych (złota i srebra) oraz czterech innych towarów (pszenicy, jęczmienia, daktyli i soli). Stosuje się również przez analogię (qiyas) do wszystkich gatunków, które rządzą się tą samą sprawną przyczyną (illa) lub które należą do któregokolwiek z rodzajów sześciu obiektów wymienionych w tradycji. Jednak nie ma ogólnej zgody pomiędzy różnymi szkołami Fiqh, a nawet uczonymi należącymi do tej samej szkoły w zakresie definicji i identyfikacji skutecznej przyczyny (illa) ryb. Dla Hanafi, efektywna przyczyna (illa) riba ma dwa wymiary: wymieniane artykuły należą do tego samego rodzaju (jins), które posiadają masę (wazan) lub mierzalność (kiliyya). Jeżeli w danej wymianie występują oba elementy przyczyny efektywnej (illa), to znaczy wymieniane kontrary należą do tego samego rodzaju (jins) i wszystkie są ważone lub wszystkie mierzalne, wówczas żadne zyski nie są dopuszczalne (kurs walutowy musi być być równe jedności), a wymiana musi odbywać się na miejscu. W przypadku złota i srebra dwa elementy przyczyny (illa) to: jedność rodzaju (jins) i ważność. Jest to również widok Hanbali według jednej wersji3. (Odmienna wersja jest podobna do widoku Shafii i Maliki, jak omówiono poniżej.) Tak więc, gdy złoto jest wymieniane na złoto, lub srebro jest wymieniane na srebro, dozwolone są tylko transakcje kasowe bez żadnych zysków. Możliwe jest również, że w danej wymianie występuje jeden z dwóch elementów przyczyny efektywnej (illa), a drugi jest nieobecny. Na przykład, jeżeli wymieniane artykuły są ważone lub mierzalne, ale należą do innego rodzaju (jins) lub, jeśli wymieniane artykuły należą do tego samego rodzaju (jins), ale żadna z nich nie jest ważona ani mierzalna, wówczas wymiana z zyskiem (w tempie innym niż jedność) jest dopuszczalna, ale wymiana musi odbywać się na miejscu. Tak więc, gdy złoto jest wymieniane na srebro, stawka może różnić się od jedności, ale żadne odroczone rozliczenie nie jest dopuszczalne. Jeżeli w danej wymianie nie występuje żaden z dwóch elementów czynnika sprawczego (illa) ryb, wówczas żadne z zaleceń dotyczących zakazu riba nie ma zastosowania. Wymiana może odbywać się z zyskiem lub bez i zarówno na miejscu, jak i na zasadzie odroczenia. Biorąc pod uwagę przypadek wymiany walut papierowych należących do różnych krajów, prohibicja riba wymagałaby poszukiwania przyczyn skutecznych (illa). Waluty należące do różnych krajów są wyraźnie odrębnymi podmiotami, które są prawnym środkiem płatniczym w określonych granicach geograficznych o różnej wartości wewnętrznej lub sile nabywczej. Stąd ogromna większość uczonych słusznie twierdzi, że nie ma jedności rodzaju (dżiny). Ponadto nie są one ani ciężkie ani mierzalne. Prowadzi to do bezpośredniego wniosku, że żaden z dwóch elementów wydajnej przyczyny (illa) riby nie istnieje w takiej wymianie. W związku z tym wymiana może odbywać się bez jakiegokolwiek nakazu dotyczącego kursu wymiany i sposobu rozliczenia. Logika leżąca u podstaw tej pozycji nie jest trudna do zrozumienia. Istotna wartość walut papierowych należących do różnych krajów różni się, ponieważ mają one różną siłę nabywczą. Ponadto nie można zidentyfikować ani oszacować wewnętrznej wartości lub wartości walut papierowych w przeciwieństwie do złota i srebra, które można zważyć. Dlatego nie można ustalić obecności riba al-fadl (w nadmiarze) ani riba al-nasia (przez odroczenie). Szkoła Fiqh w Shafii uważa, że ​​przyczyną (illa) w przypadku złota i srebra jest ich własność bycia walutą (thamaniya) lub środkiem wymiany, jednostką rozliczeniową i zasobem wartości. Jest to również widok Maliki. Zgodnie z jedną wersją tego poglądu, nawet jeśli papier lub skóra jest środkiem wymiany i otrzymuje status waluty, to stosuje się do nich wszystkie zasady odnoszące się do naqdain lub złota i srebra. Tak więc, zgodnie z tą wersją, dopuszczalna jest wymiana walut różnych państw w różnym tempie niż jedność, ale musi być ona rozliczana na miejscu. Inną wersją powyższych dwóch poglądów jest to, że powyższa skuteczna przyczyna (illa) bycia walutą (thamaniya) jest specyficzna dla złota i srebra i nie może być uogólniona. Oznacza to, że żaden inny przedmiot, jeśli jest używany jako środek wymiany, nie może zostać włączony do ich kategorii. W związku z tym, zgodnie z tą wersją, nakazy szariatu dotyczące zakazu riba nie mają zastosowania do walut papierowych. Waluty należące do różnych krajów mogą być wymieniane z zyskiem lub bez, zarówno na miejscu, jak i na zasadzie odroczenia. Zwolennicy wcześniejszej wersji cytują przypadek wymiany papierowych walut należących do tego samego kraju w obronie ich wersji. W tej sprawie zgodna opinia prawników mówi, że taka wymiana musi odbywać się bez zysku lub w wysokości równej jedności i musi być ustalana na miejscu. Jakie są przesłanki leżące u podstaw powyższej decyzji Jeśli wziąć pod uwagę Hanafi i pierwszą wersję stanowiska Hanbali, to w tym przypadku występuje tylko jeden wymiar przyczyny skutecznej (illa), to znaczy, że należą one do tego samego rodzaju (jins ). Ale waluty papierowe nie są ani ważone, ani mierzalne. W związku z tym prawo Hanafi najwidoczniej umożliwiłoby wymianę różnych ilości tej samej waluty na miejscu. Podobnie, jeśli skuteczną przyczyną bycia walutą (thamaniya) jest tylko złoto i srebro, prawo Shafii i Maliki pozwolą na to samo. Nie trzeba dodawać, że oznacza to udzielanie pożyczek opartych na rydze i pożyczanie. Pokazuje to, że jest to pierwsza wersja myśli Shafii i Maliki'ego, która leży u podstaw konsensusowej decyzji zakazu zysku i odroczonego rozliczenia w przypadku wymiany walut należących do tego samego kraju. Zdaniem zwolenników, rozszerzenie tej logiki na wymianę walut różnych krajów oznaczałoby, że wymiana z zyskiem lub w tempie innym niż jedność jest dopuszczalna (ponieważ nie ma jedności jins), ale rozliczenie musi być na miejscu. 2.1.2 Porównanie wymiany walut i Bai-Sarf Bai-sarf jest zdefiniowane w literaturze Fiqh jako wymiana z udziałem thaman haqiqi, definiowana jako złoto i srebro, które służyły jako główny środek wymiany dla prawie wszystkich dużych transakcji. Zwolennicy poglądu, że jakakolwiek wymiana walut różnych krajów jest taka sama jak bai-sarf, argumentują, że w obecnym wieku waluty papierowe skutecznie i całkowicie zastąpiły złoto i srebro jako medium wymiany. Dlatego też analogicznie wymiana obejmująca takie waluty powinna podlegać tym samym zasadom i nakazom szariackim, co bai-sarf. Argumentuje się również, że gdyby zezwolić na odroczone rozliczenie przez obie strony umowy, otwierałoby to możliwości riba-alisia. Przeciwnicy kategoryzacji wymiany walut z bai-sarf wskazują jednak, że wymiany wszystkich form waluty (taman) nie można nazwać bai-sarf. Zgodnie z tym poglądem bai-sarf oznacza wymianę walut ze złota i srebra (thaman haqiqi lub naqdain), a nie pieniędzy wymienianych jako takie przez władze państwowe (thaman istalahi). Obecne waluty są tego rodzaju przykładami. Ci uczeni znajdują poparcie w tych pismach, które twierdzą, że jeśli towary wymiany nie są złotem ani srebrem (nawet jeśli jedna z nich jest złota lub srebra), wówczas wymiany nie można określić jako bai-sarf. Postanowienia dotyczące bai-sarf również nie miałyby zastosowania do takich wymian. Według Imama Sarakhsi4, gdy dana osoba kupuje falsy lub monety wykonane z gorszych metali, takich jak miedź (thaman istalahi) dla dirhamów (thaman haqiqi) i dokonuje natychmiastowej płatności tego ostatniego, ale sprzedawca nie ma w tym momencie falsyfikatu , wtedy taka wymiana jest dopuszczalna. objęcie towarów wymienianymi przez obie strony nie jest warunkiem wstępnym (w przypadku bai-sarf jest.) Istnieje szereg podobnych odniesień, które wskazują, że prawnicy nie klasyfikują wymiany fals (thaman istalahi) na inną fals ( thaman istalahi) lub złoto lub srebro (thaman haqiqi), jako bai-sarf. Dlatego wymiana walut dwóch różnych krajów, które mogą kwalifikować się jako istamai thaman, nie może być zakwalifikowana jako bai-sarf. Na takie transakcje nie można również nakładać ograniczeń dotyczących rozliczeń dodatkowych. Należy tu zauważyć, że w definicji bai-sarf podaje się literaturę Fiqha i nie ma takiej wzmianki w świętych tradycjach. Tradycje wspominające o riba, a także o sprzedaży i kupnie złota i srebra (naqdain), które mogą być głównym źródłem ryb, są określane przez islamskich jurystów jako bai-sarf. Należy również zauważyć, że w literaturze Fiqh bai-sarf oznacza wymianę złota lub srebra tylko bez względu na to, czy są one obecnie używane jako środek wymiany, czy nie. Wymiana obejmująca dinary i złote ozdoby, obie jakości jak bai-sarf. Różni prawnicy starali się wyjaśnić tę kwestię i zdefiniowali sflackę jako giełdę, w której oba towary wymieniane są w naturze taman, niekoniecznie sami. Stąd, nawet gdy jeden z towarów przetwarzany jest w złoto (np. Ozdoby), taka wymiana nazywa się bai-sarf. Zwolennicy poglądu, że wymiana walutowa powinna być traktowana w sposób podobny do bai-sarf, również czerpią wsparcie z pism wybitnych islamskich jurystów. Według Imama Ibn Taimiya wszystko, co spełnia funkcje medium wymiany, jednostki rozliczeniowej i zasobu wartości, nazywa się thaman (niekoniecznie ograniczone do srebra ze złotymi ampami). Podobne odniesienia są dostępne w pismach Imama Ghazzali5. Jeśli chodzi o poglądy Imama Sarakhshiego dotyczące wymiany z udziałem fals, według nich, należy wziąć pod uwagę kilka dodatkowych punktów. We wczesnych latach islamu dinary i dirhamy wykonane ze złota i srebra były najczęściej używane jako środek wymiany we wszystkich większych transakcjach. Tylko nieliczni zostali osiedleni z fals. Innymi słowy, falsy nie posiadały cech pieniądza lub thamaniya w całości i były rzadko używane jako zasób wartości lub jednostki rozliczeniowej i miały charakter bardziej towarowy. W związku z tym nie istniały ograniczenia dotyczące zakupu tego samego złota i srebra na zasadzie odroczenia. Dzisiejsze waluty mają wszystkie cechy thamana i mają być tylko thamanami. Wymiana walut różnych krajów jest taka sama, jak bai-sarf z różnicą dżinów, a zatem odroczone rozliczenie doprowadziłoby do riba al-nasia. Dr Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustruje tę możliwość za pomocą przykładu6. Pisze W danym momencie, kiedy rynkowa stopa wymiany między dolarem a rupią wynosi 1:20, jeśli dana osoba kupi 50 w wysokości 1:22 (uregulowanie zobowiązania w rupiach odroczonego do przyszłej daty), to jest bardzo prawdopodobne, że tak. w rzeczywistości, pożyczając Rs. Teraz 1000 zamiast obietnicy spłaty Rs. 1100 w określonym późniejszym terminie. (Od tego czasu może on uzyskać Rs 1000 już teraz, zamieniając 50 zakupionych na kredyt w cenie spot). Dlatego też, szarfę można przekształcić w pożyczkę na pożyczki oparte na odsetkach. 2.1.3 Definiowanie Thamaniya jest kluczem Z powyższej syntezy alternatywnych poglądów wynika, że ​​kluczową kwestią wydaje się właściwa definicja thamaniya. Na przykład podstawowe pytanie, które prowadzi do rozbieżnych stanowisk dotyczących dopuszczalności, odnosi się do tego, czy thamaniya jest specyficzna dla złota i srebra, czy też można ją powiązać z czymkolwiek, co spełnia funkcje pieniężne. Podnosimy pewne kwestie poniżej, które mogą być brane pod uwagę przy każdym ponownym rozważaniu alternatywnych pozycji. Należy zauważyć, że thamaniya nie może być absolutna i może zmieniać się w stopniach. To prawda, że ​​waluty papierowe całkowicie zastąpiły złoto i srebro jako środek wymiany, jednostkę rozliczeniową i magazyn wartości. W tym sensie można powiedzieć, że papierowe waluty posiadają thamaniyya. Dotyczy to tylko krajowych walut i może nie być prawdziwe w przypadku walut obcych. Innymi słowy, rupie indyjskie posiadają thamaniya tylko w granicach geograficznych Indii i nie mają żadnej akceptowalności w USA. Nie można powiedzieć, że posiadają one thamaniyya w USA, chyba że obywatel USA może użyć indyjskich rupii jako środka wymiany, jednostki rozliczeniowej lub zasobu wartości. W większości przypadków taka możliwość jest odległa. Ta możliwość jest również funkcją istniejącego mechanizmu kursu walutowego, takiego jak wymienialność rupii indyjskich na dolary amerykańskie oraz to, czy istnieje stały lub płynny system kursu walutowego. Na przykład, zakładając bezpłatną wymienialność rupii indyjskich na dolary amerykańskie i odwrotnie oraz system sztywnego kursu walutowego, w którym nie przewiduje się zwiększenia lub zmniejszenia kursu rupii dolara w dającej się przewidzieć przyszłości, thamaniya rupia w USA znacznie się poprawiła . Przywołany przez dr Nejatullah Siddiqui przykład również wydaje się dość solidny w danych okolicznościach. Pozwolenie na zamianę rupii za dolary na zasadzie odroczonej (z jednego końca, oczywiście) po kursie innym niż kurs spotowy (oficjalna stopa, która prawdopodobnie pozostanie stała do dnia rozliczenia) byłoby wyraźnym przypadkiem oprocentowania pożyczki i pożyczki. Jednakże, jeśli założenie stałego kursu walutowego zostanie rozluźnione i zakłada się, że obecny jest system wahań i zmienności kursów walutowych, wówczas można wykazać, że przypadek riba al-nasia ulega rozpadowi. Przepisujemy jego przykład: w danym momencie, kiedy rynkowa stopa wymiany między dolarem a rupią wynosi 1:20, jeśli dana osoba kupi 50 w wysokości 1:22 (uregulowanie zobowiązania w rupiach odroczonego do przyszłej daty) ), to jest bardzo prawdopodobne, że tak. w rzeczywistości, pożyczając Rs. Teraz 1000 zamiast obietnicy spłaty Rs. 1100 w określonym późniejszym terminie. (Ponieważ może on teraz uzyskać Rs 1000, zamieniając 50 zakupionych na kredyt w kursie spot). Byłoby to możliwe tylko wtedy, gdyby ryzyko walutowe nie istniało (kurs wymiany pozostaje na 1:20), lub jest ponoszone przez sprzedającego dolarów (kupujący spłaca w rupiach, a nie w dolarach). Jeśli ta pierwsza jest prawdziwa, sprzedawca dolarów (pożyczkodawca) otrzymuje z góry ustalony zwrot w wysokości dziesięciu procent, gdy przelicza Rs1100 otrzymane w terminie zapadalności na 55 (przy kursie wymiany 1:20). Jeśli jednak jest to prawdą, wówczas zwrot do sprzedawcy (lub pożyczkodawcy) nie jest z góry określony. To nie musi być nawet pozytywne. Na przykład, jeśli kurs wymiany rupii do dolara wzrośnie do 1:25, sprzedawca dolara otrzyma tylko 44 (R 1100 przeliczone na dolary) za swoją inwestycję w wysokości 50. Tutaj warto zwrócić uwagę na dwa punkty. Po pierwsze, kiedy zakłada się stały reżim kursu walutowego, rozróżnienie między walutami różnych krajów ulega rozrzedzeniu. Sytuacja staje się podobna do wymiany funtów ze sterlingami (waluty należące do tego samego kraju) przy stałej stawce. Po drugie, gdy zakłada się niestabilny system kursów walutowych, to tak jak można sobie wyobrazić kredytowanie za pośrednictwem rynku walutowego (mechanizm sugerowany w powyższym przykładzie), można również wizualizować pożyczki za pośrednictwem dowolnego innego zorganizowanego rynku (np. Dla towarów lub akcji .) Jeśli ktoś zastąpi dolary za akcje w powyższym przykładzie, będzie to oznaczać: W danym momencie, kiedy cena rynkowa akcji X wynosi 20 Rs, jeśli dana osoba kupi 50 akcji po stawce Rs 22 (rozliczenie jego zobowiązanie w rupiach odroczone na przyszłą datę), to jest wysoce prawdopodobne, że tak. w rzeczywistości, pożyczając Rs. Teraz 1000 zamiast obietnicy spłaty Rs. 1100 w określonym późniejszym terminie. (Od tego czasu może on uzyskać Rs 1000 teraz, wymieniając 50 akcji zakupionych na kredyt po bieżącej cenie) W tym przypadku, podobnie jak w poprzednim przykładzie, zwroty do sprzedawcy akcji mogą być ujemne, jeśli cena akcji wzrośnie do Rs 25 w rozliczeniu data. Tak więc, podobnie jak zwroty na giełdzie lub rynku towarowym są akceptowalne z powodu ryzyka cenowego, tak samo są to zwroty na rynku walutowym z powodu wahań cen walut. Unikalną cechą thaman haqiqi lub złota i srebra jest to, że wartość wewnętrzna waluty jest równa jej wartości nominalnej. W związku z tym kwestia różnych granic geograficznych, w obrębie których krąży określona waluta, taka jak dinar lub dirham, jest zupełnie nieistotna. Złoto jest złotem w kraju A lub kraju B. Tak więc, gdy waluta kraju A ze złota jest wymieniana na walutę kraju B, również ze złota, to jakiekolwiek odchylenie kursu wymiany od jedności lub odroczenie rozliczenia przez którąkolwiek ze stron nie można dopuścić, ponieważ wyraźnie wiązałoby się z riba al-fadl, a także riba al-nasia. Jednakże, gdy waluty papierowe w kraju A są wymieniane na papierową walutę kraju B, sprawa może być zupełnie inna. Ryzyko cenowe (ryzyko walutowe), jeśli jest dodatnie, wyeliminowałoby jakąkolwiek możliwość riba al-nasia w wymianie z odroczonym rozliczeniem. Jeżeli jednak ryzyko cenowe (ryzyko walutowe) wynosi zero, wówczas taka wymiana mogłaby być źródłem riba al-Nasia, gdyby zezwolono na odroczone rozliczenie7. Inną kwestią, która zasługuje na poważną uwagę, jest możliwość, że niektóre waluty mogą posiadać thamaniyya, czyli używane jako środek wymiany, jednostka rozliczeniowa lub magazyn wartości na całym świecie, zarówno w kraju, jak i za granicą. Na przykład dolar amerykański jest prawnym środkiem płatniczym w Stanach Zjednoczonych, jest również akceptowalny jako środek wymiany lub jednostka rozliczeniowa dla dużej liczby transakcji na całym świecie. W związku z tym można powiedzieć, że ta konkretna waluta posiada thamaniyya na całym świecie, w którym to przypadku prawnicy mogą nałożyć odpowiednie nakazy dotyczące wymiany z udziałem tej konkretnej waluty, aby zapobiec riba al-nasia. Faktem jest, że gdy waluta posiada thamaniyya na całym świecie, wówczas jednostki gospodarcze, które używają tej globalnej waluty jako środka wymiany, jednostki rozliczeniowej lub zasobu wartości, mogą nie być zaniepokojone ryzykiem wynikającym ze zmienności kursów wymiany między państwami. Jednocześnie należy uznać, że znaczna większość walut nie pełni funkcji pieniężnych, z wyjątkiem granic krajowych, jeżeli są one prawnym środkiem płatniczym. Riba i ryzyko nie mogą współistnieć w tej samej umowie. Ta pierwsza oznacza możliwość zwrotu z zerowym ryzykiem i nie można jej zarobić na rynku z dodatnim ryzykiem cenowym. Jak wspomniano powyżej, możliwość powstania riba al-fadl lub riba al-nasia może powstać w zamian, gdy złoto lub srebro funkcjonują jako thaman lub gdy wymiana dotyczy walut papierowych należących do tego samego kraju lub gdy wymiana dotyczy walut różnych krajów po systemie stałego kursu walutowego. Ostatnia możliwość jest prawdopodobnie niesatysfakcjonująca8, ponieważ cena lub kurs walutowy powinny mieć możliwość swobodnego wahania się zgodnie ze zmianami popytu i podaży, a także dlatego, że ceny powinny odzwierciedlać wewnętrzną wartość lub siłę nabywczą walut. Dzisiejsze rynki walutowe charakteryzują się zmiennością kursów walut. Zyski lub straty z tytułu transakcji w walutach różnych krajów są uzasadnione ryzykiem ponoszonym przez strony umowy. 2.1.4. Możliwości Riba z kontraktami futures i forward Do tej pory omówiliśmy poglądy na temat dopuszczalności bai salam w walutach, to znaczy, kiedy obowiązek tylko jednej ze stron wymiany jest odroczony. Jakie są poglądy uczonych na odroczenie obowiązków obu stron. Typowym przykładem takich kontraktów są kontrakty terminowe typu forward i futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, pric e, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sam lainnya sesuai denaw penanaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata ung antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat international dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara z negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan z lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220 Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal i Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan z syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudyjski jika barang sesuai z keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar . artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil ma bardzo duży rozmiar, seperti ketela, kentang, bawang i dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugia jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam dla dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malezja dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internarodowy maka tiap negara membutuhkan valuta asing dla alar bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonezja memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Zablokowany przez użytkownika, którego nazwa wskazuje na nazwę użytkownika, a mianowicie nazwę użytkownika. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) Like this:

No comments:

Post a Comment